Budaya, Makanan, Ciri khas Kota Malang
1. Kebudayaan
Malang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur, dan dikenal dengan
julukan kota dingin. Selain dikenal dengan julukan Kota dingin, julukan
Kota Malang di mata masyarakat Indonesia beraneka ragam seperti contohnya Paris
van East Java, Kota Wisata, Kota Militer, Kota Sejarah, Kota Olahraga, Kota
Apel, Kota Susu, Kota Kuliner serta salah satunya ialah kota Budaya dan
Kota Keseni.
Kekayaan etnis dan budaya yang dimiliki Kota Malang berpengaruh terhadap
kesenian tradisional yang ada. Salah satunya yang terkenal adalah Wayang Topeng
Malangan (Topeng Malang), namun kini semakin terkikis oleh kesenian modern.
Gaya kesenian ini adalah wujud pertemuan tiga budaya (Jawa Tengahan, Madura,
dan Tengger). Hal tersebut terjadi karena Malang memiliki tiga sub-kultur,
yaitu sub-kultur budaya Jawa Tengahan yang hidup di lereng gunung Kawi,
sub-kultur Madura di lereng gunung Arjuna, dan sub-kultur Tengger sisa budaya
Majapahit di lereng gunung Bromo-Semeru. Etnik masyarakat Malang terkenal
religius, dinamis, suka bekerja keras, lugas dan bangga dengan identitasnya
sebagai Arek Malang (AREMA) serta menjunjung tinggi kebersamaan dan setia
kepada Malang.
Di kota Malang juga terdapat tempat yang merupakan sarana apresiasi
budaya Jawa Timur yaitu Taman Krida Budaya Jawa Timur, di tempat ini sering
ditampilkan aneka budaya khas Jawa Timur seperti Ludruk, Ketoprak, Wayang
Orang, Wayang Kulit, Reog, Kuda Lumping.
2. Ciri Khas
Kota Malang selain terkenal
sebagai salah satu kota yang berhawa dingin di Indonesia. Bumi Arema juga
menyimpan berbagai kekayaan seni dan budaya bangsa yang luar biasa. Mulai dari
makanannya seperti Bakso, Keripik Tempe dan Apel
Malang.
Berkut
ciri khas Kota Malang :
a.
Topeng Malangan (
Muhammad Khairuddin)
Di Kota
Malang terdapat seni pemahatan topeng yang asli bercirikan khas Malang.
Berdasarkan beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa Topeng Malang adalah
sebuah kesenian kuno yang usianya lebih tua dari keberadaan Kota Apel
ini.
Topeng
ini pun sudah diperkenalkan sejak zaman kerajaan Gajayana kala itu. Para
pemahat Topeng Malangan sudah turun temurun sampai sekarang, walaupun jumlahnya
tidak terlalu melonjak banyak. Pada jaman dulu apresiasi pada Topeng Malang ini
diwujudkan dengan bentuk pertunjukan saat ada acara tertentu seperti
pernikahan, selamatan, dan hiburan pejabat tinggi kala itu.
Topeng
Malang sedikit berbeda dengan topeng yang ada di Indonesia, dimana corak khas
dari pahatan kayu yang lebih kearah realis serta menggambarkan karakter wajah
seseorang. Ada banyak ragam dari jenis Topeng Malang yang dibuat seperti
karakter jahat, baik, gurauan, sedih, kecantikan, ketampanan, bahkan sampai
karakter yang sifatnya tidak teratur.
Sajian ini nantinya dikolaborasikan dengan
tatanan rias dan pakaian untuk memainkan sebuah pewayangan atau cerita tertentu
menggunakan Topeng Malang. Perkemgbangan saat ini Topeng Malang sudah dapat
dinikmati dalam bentuk drama, ada yang menceritakan tentang sosial dan humoran.
b.
Tari Topeng Malangan (Pretty
Isyana C.D)
“Tari Topeng Malang” dapat
diartikan sebagai gerakan badan yang berirama dengan diiringi bunyi-bunyian
dengan menggunakan penutup muka yang menyerupai muka orang. Tari ini murni
berasal dari Malang. Kedungmonggo sebagai sebuah
dusun di kaki gunung Kawi merupakan salah satu kantong persebaran seni budaya
tari topeng Malang. Kondisi daerah Malang secara eksternal juga
didukung dengan polesan konstruksi budaya Hindu-Jawa di lokasi sekitar dusun
Kedungmonggo mengingat akar sejarah kemunculan tari topeng adalah hasil ritual
kebudayaan Hindu.
c.
Bahasa Walikan (Moh. Nadlir)
Bahasa Walikan Malang berasal dari pemikiran para pejuang tempo doeloe
yaitu kelompok Gerilya Rakyat Kota (GRK). Bahasa khusus ini dianggap perlu
untuk menjamin kerahasiaan, efektifitas komunikasi sesama pejuang selain juga
sebagai pengenal identitas kawan atau lawan.
Jaman penjajahan, banyak pasukan Belanda yang menyusup menjadi mata-mata
di dalam kelompok pejuang Malang. Mata-mata ini banyak yang mampu berkomunikasi
dalam bahasa daerah dengan tujuan menyerap informasi dari kalangan pejuang GRK.
Seorang tokoh pejuang Malang pada saat itu yaitu Pak Suyudi Raharno
mempunyai gagasan untuk menciptakan bahasa baru bagi sesama pejuang sehingga
dapat menjadi suatu identitas tersendiri sekaligus menjaga keamanan informasi.
Bahasa tersebut haruslah lebih kaya dari kode dan sandi serta tidak terikat
pada aturan tata bahasa baik itu bahasa nasional, bahasa daerah (Jawa, Madura,
Arab, Cina) maupun mengikuti istilah yang umum dan baku. Bahasa campuran
tersebut hanya mengenal satu cara baik pengucapan maupun penulisan yaitu secara
terbalik dari belakang dibaca kedepan. Contoh : Ongis Nade (singo
edan), ker (rek)
3. Makanan Khas Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar